Jumat, 09 Desember 2011

0 Kemana Cinta Berlabuh

Malam ini sang bulan enggan meramaikan langit. Pancaran sinarnya tak satupun mengenai sang kucing yang sedang berpacaran di bawah kursi tamanku. Aku tak menampakkan diri di depannya, aku takut mengganggu mereka. Kulihat dengan jelas mereka bercumbu di sana. Sang jantan merangkul lembut tubuh si betina. Tak terusik apapun. Lolongan anjing tetangga pun tak mampu mengusik kemesraan mereka. Aku dan sang bintang hanya mampu memandangnya dari kejauhan. Ketika itu jam menunjukkan pukul  12 malam, tengah hari. Seperti sang bulan , mataku pun enggan lelah. Tak jemu menatap langit yang hampa tanpa adanya, menatap si kucing yang sedang bercumbu mesra mengikat tali asmara. Sudah hampir setengah jam memang. Aku tahu apa yang mereka rasakan. Menikmati saat-saat dimana si betina menunda orgasmenya. Sungguh apa yang mereka rasakan, aku sudah mengetahuinya.
Kualihkan pandanganku. Buku berwarna pink dengan motif bunga – bunga kuraih dari tempatnya semula. Buku pemberiannya. Terkesan norak memang, tapi aku tak kuasa menolak pemberiannya, bagiku ini terasa sangat mewah daripada apa yang ia bayangkan sebelumnya. Buku agendaku, buku harianku, kemana pun aku bawa. Bahkan ia pernah kehujanan bersamaku. Mulai kutulis kata demi kata menjaid sebuah kalimat. Semula aku hanya menggoreskan titik diatas secarik kertas yang masih belum ternoda itu. Kertas suci yang menanti sang penanti. Dia lah aku. Ahh .. Aku harus menulis apa lagi ?? Tanya itu selalu mengusikku. Kejadian hari ini memang tak ada yang mengesankan. Untuk apa kutulis ? Untuk apa kugoreskan pena pada kertas suci ini jika hanya untuk dibuang. Keberadaannya sangat sulit kupergunakan saat ini. Dan akhirnya kuputuskan untuk menutup buku itu kembali.
Kuperhatikan lagi sang langit. Mendung. Mengapa mendung ? Semua pasti sudah tahu jawabannya. Karena sebentar lagi ia akan menurunkan sejuta makhluk yang akan berkeroyok memenuhi jagat. Tapi , aku tak yakin. Mungkin juga gumpalan awan hitam yang menutupi bulan itu akan pergi sejauh-jauhnya. Menghindar dari pandanganku. Tapi sejauh ini memang tak ada tanda akan turun hujan.
“Arlinda, ada telepon”,tiba-tiba suara itu mengagetkanku. Suara yang telah kukenal betul.
“Ya, Bu. Sebentar”. Aku segera berlari menuju telepon itu berada. Cepat –c epat kuhampiri ibu. Ia menyerahkan gagag teleponnya kepadaku.
“Cepat, Linda. Kasihan dia. Jangan biarkan ia lama menunggumu , Nak”, Ibu gelisah.
“Halo..Ya , saya sendiri. Oh iya ada apa ? Oh .. Lihat saja besok. Aku belum bisa memastikannya. Ya ..yaa .. tunggu saja aku di dekat taman. Aku kan datang di sana. Mungkin setelah bel istiahat.. Iya . Aku akan ke sana besok. Tunggu saja.. Sudahlah ini sudah malam. Aku ingin tidur.. Ya, sudah ..”, Kututup teleponnya. Huhh.. Ia memang cerewet. Melebihi kecerewetanku. Aku selalu kesal dibuatnya. Tapi bagaimanapun ia yang telah menolongku kemarin. Dari musibah itu. Untung saja ada dia, jika tidak aku mungkin sudah celaka.
Kemarin aku dikejar – kejar preman yang tak tahu asal – usulnya. Mereka menggodaku melebihi batas. Mengangkat rokku hingga menggelembung. Sia – sia aku berlari karena dengan sekejap aku sudah ada di genggaman mereka. Mereka meremas pundakku kuat – kuat hingga aku meringis kesakitan. Aku sudah tak tahan. Arrrgghh .. Kuberontak. Kusikut dadanya. Kutendang kepalanya dengan sekuat tenagaku. Kuayunkan tanganku ke depan hingga mereka jatuh tersungkur di hadapanku. Rupanya tak sia – sia aku belajar karate. Kemudian aku berbalik dan mencoba berlari menghindar dari mereka yang bermuka sangar. Tapi , belum beberapa langkah aku sudah tersungkur. Kakinya menjegalku. Ugghh .. Dadaku sakit sekali. Kau bisa membayangkan betapa tegangnya suasana waktu itu. Aku sudah tak punya nyali. Nyaliku hancur seperti buih-buih dilautan yang diterjang ombak. Sesak dadaku ,s eperti sesak pikiranku. Mereka menyeretku. Mengamcamku dengan sebilah pisau yang mereka bawa. Oh , Tuhan. Apa yang terjadi denganku. Tolong aku , Tuhan. Aku tak henti – hentinya membaca doa, untuk keselamatanku.
Tak terasa air mataku keluar dari pelupuk. Perlahan tapi pasti , seperti mutiara bening yang jatuh ke tanah dengan sendirinya. Aku sudah tak sanggup. Namun , disaat yang darurat seperti ini , Ia datang menyelamatkanku. Sungguh keajaiban doa. Ini memang terasa amazing bagiku. Dengan sedikit hentakan, mereka tersungkur satu demi satu. Dan pergi berlalu.
Itulah yang membuatku merasa berhutang budi padanya. Aku tak tahu harus dengan apa aku membalasnya. Dulu memang sang dewa cinta menganugerahkannya untukku, tapi ia malah pergi dibawa angin. Bahkan tak berbekas. Entah mengapa roda asmaraku berhenti. Tak berfungsi. Tak mengikuti kehendak angin. Semua ini karnanya sendiri. Bukan aku sebenarnya. Tapi apa daya , ia mengharapku kembali. Entah bagaimana aku harus menumbuhkan rasa cintaku padanya lagi.
 “Aku menepati janji”,kataku seraya tersenyum padanya yang kuyu.
“Hemm .. Terima kasih kau sudah mau hadir di sini”.
“Ada apa denganmu, Barry?”, tanyaku gelisah
“Tak ada”,jawabnya datar.
“Lalu kenapa dengan wajah murammu?”.
“Aku tak bisa denganmu lagi. Maafkan aku. Aku sudah membohongimu selama ini. Aku sudah berdusta padamu”.
“Maksutmu apa?”.
“Aku ingin mengakhirinya. Maafkan aku, Arli”.
Kata – katanya masih terngiang di benakku sampai saat ini. Rasa perih yang tiada terkira masih terasa. Setidaknya dalam hati. Ia meninggalkanku karena wanita itu. Dan sekarang ia menyesal setelah kemudian meninggalkanku begitu saja. Ada rona bahagia kala ia masih menatapku seperti dulu. Tapi sekarang , rasa itu kian menghilang. Seperti debu yang diterjang angin begitu saja. Kembali pada entah. Aku tak tahu harus dengan apa aku menyuburkannya kembali. Aku tak tahu , dengan siapa cintaku akan berlabuh.
Lolongan anjing itu mengagetkanku,membuatku tersadar akan lamunanku. Bergegas kurebahkan tubuhku di ranjang. Menanti datangnya mimpi, hingga esok datang.
                                                                                           *******
"Cepatlah jemput aku",ucapku pada sang penelepon.
"Iya sebentar. Tunggu 5 menit lagi",ia hanya menjawabnya tanpa ekspresi. Jelas saja aku tak tahu bagaimana ekspresinya saat itu. Bahkan rona di wajahnya pun sama sekali tak kulihat. Bintik-bintik merah dikulitnya yang kian bertambah juga tak kuhiraukan. Kami hanya mengobrol lewat telepon.
Setelah aku merenung sedemikian lamanya, terdengar suara klakson motor yang kukenal. Motor tua,scooter. Berwarna biru tua, agak kusam. Namun tak menutupi keindahannya yang sangat estetis. Luar biasa. Scooter pemberian kakeknya yang masih terjaga keberadaannya. Aku menghampirinya.
"Sudah , ayo cepat berangkat. Aku sudah terlambat. Apa kau mau aku dihukum lagi ?",omelku.
"Iya , ayo naik. Aku akan menurutii permintaanmu",katanya sambil tersenyum. Tapi , mencurigakan. Seperti seorang maling yang baru saja menemukan sekarung emas, tatapannya pasti aneh. Dan ternyata benar dugaanku , ia mengebut. Menerjang penghalang,berontak di jalanan.
"Hai, apa yang kau lakukan. Kita bisa celaka",aku semakin gelisah. Pelukanku erat di punggungnya. Aah , sepertinya ia sedang mencari kesempatan dalam kesempitanku.
"Tenang saja,Lin. Aku bisa menjagamu. Seperti katamu , aku menuruti kemauanmu",jawabnya tanpa ada rasa bersalahpun.
"Tapi , taks eharusnya kau lakukan ini. Kita bisa celaka. Atau jangan-jangan kau cari - cari kesempatan ya ?"
"Hahaha..Sudahlah pegangan yang kuat".
Ia semakin menjadi - jadi. Seperti angin puyuh,mungkin topan,mungkin tornado. Atau badai yang mampu meluluhlantakkan rumah penduduk. Entah iblis mana yang mengganggunnya. Yang jelas aku masih berpegangan dengan kuat.
Untung saja aku benar - benar selamat sampai tujuan. Aku sangan mensyukurinya. Oh , Tuhan terima kasih. Aku masih hidup. Perlahan kuturunkan kakiku,lalu pantatku, dan berjalan meninggalkan Ron yang terbengong-bengong. Untung saja aku belum terlambat.
Ia Ron. Ia manusia yang pernah datang meminta restu orang tuaku. Ia baik. Ia menyenangkan. Ia mengantarku ke sekolah setiap hari. Tapi , sebesar apakah perasaannya padaku ? Sejauh ini aku belum pernah mengukurnya. Yang jelas ia menunggu waktu itu,kelulusanku.

0 komentar:

Posting Komentar